Ad
Scroll untuk melanjutkan membaca
Ad

Pertarungan Akal dan Spiritualitas dalam Tradisi Islam: komparatif pemikiran Ibn Sina dan Imam al-Ghazali


Sejarah intelektual Islam, nama Ibn Sina dan Imam al-Ghazali menempati posisi yang hampir legendaris. Keduanya tidak hanya menjadi simbol kecemerlangan pemikiran, tetapi juga representasi dua pendekatan berbeda dalam memahami realitas, rasionalisme filosofis dan spiritualisme teologis. Perdebatan mereka meski tidak berlangsung secara langsung menjadi titik penting dalam dialektika pemikiran Islam, dan hingga hari ini penulis menyimpulkan tetap relevan dibahas.

Ibn Sina, yang dikenal luas di Barat sebagai Avicenna, membangun sistem filsafat yang kokoh dengan fondasi logika dan metafisika. Ia berusaha menjelaskan dunia melalui kekuatan akal manusia. Dalam kerangka pemikirannya, alam semesta merupakan emanasi bertingkat dari Tuhan sebagai Wajib al-Wujud, satu-satunya keberadaan yang niscaya. Dari konsep inilah ia merumuskan hubungan antara Tuhan, akal, jiwa, dan materi. Baginya, dengan akal yang terlatih, manusia bisa mencapai pengetahuan yang tinggi, bahkan pengetahuan tentang wujud Ilahi melalui proses kontemplasi intelektual. Sedangkan Filsafat, bagi Ibn Sina adalah jalan pengungkapan hakikat.

Di sisi lain, Imam Al-Ghazali, seorang teolog, sufi, dan pemikir besar, memandang bahwa akal memang penting, tetapi tidak cukup untuk menembus seluruh dimensi kebenaran. Dalam karyanya yang terkenal, Tahafut al-Falasifah, ia mengkritik para filsuf yang menempatkan rasio di atas wahyu termasuk kritik langsung kepada pemikiran Ibn Sina. Ia menegaskan bahwa ada batas bagi kemampuan akal. Kebenaran tertinggi, menurutnya, hanya dapat dicapai melalui penyucian jiwa, intuisi spiritual, dan ketaatan pada wahyu Ilahi.

Pengalaman mistik bagi al-Ghazali setara dengan pengetahuan, bahkan lebih tinggi dari argumentasi logis.
Perbedaan keduanya tidak lantas membuat salah satu lebih “benar” dari yang lain. Sedangkan Ibn Sina mengajak manusia untuk merayakan akal sebagai anugerah Tuhan yang memungkinkan manusia memahami tatanan kosmos. Kriti al-Ghazali kepada Ibn Sina mengingatkan bahwa kekaguman pada akal tidak boleh menjadikan manusia lupa pada batasnya sebagai makhluk, dari pertemuan dua arus ini justru melahirkan keseimbangan dalam tradisi intelektual Islam, rasionalitas yang tidak kering, dan spiritualitas yang tidak anti-intelektual.

Menariknya, kritik Al-Ghazali tidak membuat filsafat tenggelam, justru setelah kritiknya, pemikiran filsafat Islam berkembang lebih matang, termasuk melahirkan tokoh seperti Ibn Rusyd. Dalam pertarungan intelektual antara Ibn Sina dan al-Ghazali menjadi bukti bahwa dinamika pemikiran besar selalu lahir dari dialog, kritik, dan keberanian mempertanyakan.

Hemat penulis hingga kini, perbandingan pemikiran keduanya tetap menjadi sumber inspirasi. Ibn Sina mengajarkan keberanian berpikir, sementara al-Ghazali mengajarkan kerendahan hati dalam mencari kebenaran. Keduanya, dalam cara masing-masing, adalah guru bagi mereka yang menempuh jalan ilmu.

Penulis: Baharuddin (Pengurus PK PMII STAIDA) 
Baca Juga
Postingan Terbaru
  • Pertarungan Akal dan Spiritualitas dalam Tradisi Islam: komparatif pemikiran Ibn Sina dan Imam al-Ghazali
  • Pertarungan Akal dan Spiritualitas dalam Tradisi Islam: komparatif pemikiran Ibn Sina dan Imam al-Ghazali
  • Pertarungan Akal dan Spiritualitas dalam Tradisi Islam: komparatif pemikiran Ibn Sina dan Imam al-Ghazali
  • Pertarungan Akal dan Spiritualitas dalam Tradisi Islam: komparatif pemikiran Ibn Sina dan Imam al-Ghazali
  • Pertarungan Akal dan Spiritualitas dalam Tradisi Islam: komparatif pemikiran Ibn Sina dan Imam al-Ghazali
  • Pertarungan Akal dan Spiritualitas dalam Tradisi Islam: komparatif pemikiran Ibn Sina dan Imam al-Ghazali
Ad
Ad
Tutup Iklan
Ad