sahabatliterasi-Menjelang akhir tahun 2025, tepatnya Senin, 24 November, Komunitas Sahabat Literasi menghidupkan tradisi intelektual kader PMII STAIDA melalui sebuah diskusi informal bertajuk “Diskusi Dialektika-Pengantar Filsafat”. Diskusi ini tidak berlangsung di ruang kuliah atau aula formal, melainkan di warung kopi sebagai ruang yang sejak lama menjadi tempat bertemunya gagasan, perdebatan, dan pertumbuhan nalar kritis. Dalam sejarah filsafat, ruang semacam ini bukan hal baru. Para filsuf Yunani pun berdialektika di agora, ruang publik tanpa podium resmi, karena bagi mereka percakapan adalah tempat kelahiran pemikiran besar.
Diskusi malam itu mengupas pengantar filsafat melalui empat sudut pandang ialah filsafat sebagai ilmu, sebagai metode, sebagai cara berpikir, dan sebagai pandangan hidup. Dari konsep dasar ini, peserta mulai memahami bahwa filsafat bukan sekadar wacana abstrak yang terpisah dari kehidupan, tetapi akar dari cara manusia melihat realitas, menyusun argumentasi, dan menilai tindakan. Sebagaimana filsafat berasal dari kata philosophia "cinta kebijaksanaan" maka ia bukan hanya pengetahuan, tetapi pencarian tiada henti untuk memahami yang benar, yang mungkin, dan yang seharusnya dilakukan. Bertrand Russell pernah menegaskan bahwa filsafat bukan sekadar kumpulan pengetahuan, tapi rangkaian pertanyaan yang memperluas batas pemahaman manusia tentang dunia. Dari sini, kader PMII didorong untuk tidak hanya mencari jawaban, tetapi mampu mempertanyakan jawaban itu sendiri.
Pembahasan kemudian berkembang pada pemahaman filsafat sebagai metode. Dalam tradisi intelektual, filsafat adalah cara kerja pikiran yang sistematis, yakni upaya menemukan kebenaran melalui penyusunan premis, penalaran, kritik, dan kesimpulan. René Descartes dalam karya monumentalnya, Discourse on Method, menegaskan bahwa manusia tidak cukup hanya memiliki akal yang terpenting adalah bagaimana menggunakannya dengan benar. Posisi ini relevan dalam konteks PMII saat ini, ketika sebagian kader merasa bahwa gerakan cukup dilakukan dengan aksi lapangan tanpa penopang teoritik. Gerakan semacam itu rentan kehilangan arah karena lebih didorong desakan emosional daripada analisis mendalam terhadap realitas sosial yang dihadapi. Filsafat sebagai metode menggarisbawahi bahwa gerakan mahasiswa harus dibangun di atas fondasi perencanaan yang sadar, bukan sekadar respons spontan.
Selanjutnya diskusi menelusuri filsafat sebagai cara berpikir kritis melalui tradisi dialektika. Dialektika tidak berhenti pada adu argumen untuk menang, tetapi proses mencapai kebenaran melalui tesis, antitesis, dan sintesis. Metode ini telah digunakan sejak Socrates, yang percaya bahwa kebenaran muncul melalui percakapan yang jujur, saling menguji gagasan, dan kesediaan menerima kritik. Tradisi berdiskusi semacam ini pula yang pernah membentuk tradisi intelektual ulama Islam di masa lalu melalui majelis-majelis ilmu. Namun, diskusi Waktu itu juga menyoroti kenyataan bahwa sebagian kader PMII saat ini mengalami polarisasi pemahaman, ada yang berkembang menjadi aktivis lapangan yang rajin berdemonstrasi, tetapi kurang memiliki kebiasaan membaca, mencatat, dan berpikir secara reflektif. Gerakan tanpa intelektualitas hanya menghasilkan gema, bukan suara, hanya reproduksi emosi, bukan penghasil gagasan baru.
Filsafat juga menjadi titik tolak bagi pandangan hidup. Ia tidak berhenti di kepala, tetapi menetap sebagai lensa untuk menentukan sikap, mengambil keputusan, memandang masyarakat, hingga membangun orientasi perjuangan. Kader yang memiliki pandangan filosofis akan lebih reflektif, kritis, dan tidak mudah terhanyut oleh opini publik atau dinamika sesaat. Filsafat menjadikan kader sadar mengapa mereka bergerak, bukan hanya bagaimana bergerak.
Pembahasan diskusi kemudian menyentuh pemikiran Aristoteles dalam karyanya Etika Nikomakea. Aristoteles menegaskan bahwa manusia mencapai kebahagiaan melalui kebajikan, dan kebajikan hanya tumbuh melalui pembiasaan. Ia menyatakan bahwa manusia baik bukan hanya yang memahami kebaikan, tetapi yang melakukan kebaikan. Pemikiran ini relevan dalam menyusun etika gerakan mahasiswa. Gerakan sosial tidak boleh hanya menjadi respons emosional, tetapi harus berakar pada kecerdasan moral dan tujuan yang mulia. Jika gerakan tidak disertai etika, ia akan mudah bergeser menjadi kegaduhan yang kehilangan orientasi. Sebaliknya, etika yang tidak ditopang intelektualitas akan menjadi idealisme lemah tanpa kemampuan mendorong perubahan.
Sebagian besar peserta menyadari bahwa ruang kopi waktu itu bukan sekadar tempat bercengkerama, tetapi agora kecil yang menjadi laboratorium pemikiran. Di sana peserta membicarakan hakikat pengetahuan, menyinggung kondisi sosial di Bangkalan, dinamika organisasi, serta tantangan membangun tradisi intelektual di kalangan mahasiswa PMII. Dalam suasana yang santai tetapi serius, diskusi menunjukkan bahwa pergerakan tidak selalu membutuhkan panggung megah. Terkadang perubahan besar justru lahir dari ruang kecil yang memberi waktu untuk merenung, mendengarkan, menimbang, dan menguji argumen secara sehat.
Pada akhirnya, diskusi tersebut meneguhkan kesadaran bahwa Komunitas Sahabat Literasi harus menjadi benteng penguatan tradisi intelektual dalam tubuh PMII STAIDA. Sebab kader PMII tidak boleh hanya menjadi pelaksana instruksi organisasi, tetapi harus menjadi pembaca realitas, pengolah gagasan, dan perumus jalan perjuangan. Gerakan yang hebat adalah gerakan yang berjalan melalui kaki, tetapi dikendalikan oleh kepala dan hati yang terdidik. Diskusi Waktu itu mungkin tidak melahirkan kesimpulan final dan memang filsafat tidak menuntut finalitas. Namun ia berhasil menanamkan keyakinan bahwa tradisi berpikir harus terus dirawat. Di bawah lampu warung kopi, percakapan sederhana itu berubah menjadi api kecil yang dapat menyalakan kembali kesadaran bahwa filsafat adalah landasan dasar bagi gerakan mahasiswa yang beradab, bernalar, dan beretika.
Penulis: Adip Mustofa (Peserta distrik Sahabat literasi)