Peran dari warga pergerakan, sudah semestinya melihat dinamika dalam gerakan mahasiswa untuk menentukan tujuan langkah, yang mana tidak cukup hanya dengan semangat dan tradisi. Kita membutuhkan kerangka berpikir yang mampu menjelaskan bagaimana tindakan kita sebagai kader dapat memiliki makna dan dampak. Di titik inilah teori tindakan sosial Max Weber menjadi relevan bagi PMII. Weber menjelaskan bahwa setiap tindakan manusia selalu memiliki makna subjektif dan diarahkan kepada orang lain. Artinya, tindakan kader PMII bukan sekadar aktivitas organisasi, tetapi ekspresi dari motif-motif tertentu yang membentuk arah gerakan kita.
Dilihat dari tindakan rasional instrumental, maka seluruh proses pengkaderan formal PMII tampil sangat jelas sebagai contoh nyata. Kurikulum kaderisasi seperti MAPABA, PKD, PKL, hingga PKN tidak disusun secara kebetulan, semuanya dirancang untuk mencapai tujuan tertentu, mulai dari pembentukan pola pikir kritis, analisis sosial, hingga kemampuan manajerial dan ideologis yang matang. Rasionalitas jenis ini mengajak kita untuk bergerak dengan perhitungan yang jelas, langkah yang terarah, dan pemahaman bahwa sebuah gerakan harus memiliki strategi yang efektif agar bisa berlangsung lama dan memberi pengaruh nyata.
Peran dari rasionalitas instrumental itu, terdapat rasionalitas yang lebih dalam yakni rasionalitas nilai. Namun, sebagian besar kader PMII bergerak bukan hanya karena kegiatan yang terjadwal, melainkan karena nilai yang diyakini. Nilai Aswaja, prinsip kemanusiaan, kepedulian terhadap sesama, serta komitmen spiritual menjadi energi batin yang mengikat kita pada gerakan ini. Rasionalitas nilai menegaskan bahwa gerakan PMII pada dasarnya adalah gerakan moral. Kita bergerak bukan sekadar untuk mencapai hasil, tetapi untuk mempertahankan nilai yang menjadi dasar kelahiran organisasi ini.
Selain dua bentuk rasionalitas itu, Weber juga menyoroti tindakan afektif, yakni tindakan yang berangkat dari emosi dan perasaan. Dalam PMII, tindakan afektif ini tampak dalam rasa kebersamaan yang kuat, solidaritas antar kader, dan hubungan senior-junior yang kadang lebih hangat daripada hubungan keluarga sendiri. Emosi kolektif ini dapat menjadi kekuatan besar yang menumbuhkan loyalitas dan komitmen, tetapi juga bisa menjadi tantangan jika membuat kita bergerak hanya karena perasaan tanpa pertimbangan yang matang. Ketika emosi diarahkan secara positif, ia menjadi energi pengikat, ketika tidak, ia dapat menutup ruang kritis.
Selain itu, terdapat tindakan tradisional, yakni tindakan yang dilakukan karena kebiasaan turun-temurun. PMII memiliki banyak tradisi yang membentuk identitasnya, seperti forum diskusi mingguan, candaan khas, dan jargon yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi ini memberikan kontinuitas, membuat kita merasa menjadi bagian dari sejarah panjang. Namun Weber mengingatkan bahwa tradisi sering kali mengalir tanpa refleksi. Karena itu, sebagai warga pergerakan kita perlu memilah antara tradisi mana yang harus dijaga, dan tradisi mana yang harus diperbarui agar tidak menghambat dinamika gerakan.
Setelah memahami keempat landasan sosial Weber, pertanyaannya kemudian adalah tindakan seperti apa yang seharusnya menjadi basis arah gerakan PMII? Jawabannya tidak terletak pada satu tipe tindakan saja. Keempatnya memiliki tempat masing-masing dalam pergerakan. Tetapi jika kita ingin PMII bergerak secara progresif dan relevan terhadap perkembangan zaman, maka tindakan rasional instrumental dan rasional berorientasi nilai harus menjadi fondasi utama. Rasionalitas instrumental membantu kita menata gerakan dengan strategi, perencanaan, dan efektivitas. Rasionalitas nilai memastikan bahwa langkah kita tetap bermoral, selaras dengan prinsip Aswaja, dan berpihak pada kemanusiaan.
Sementara itu, tindakan afektif dan tradisional tetap perlu hadir sebagai penguat identitas dan pengikat emosional. Keduanya dapat menjaga kehangatan dan kontinuitas organisasi. Namun keduanya tidak boleh menjadi penentu arah utama karena dapat menenggelamkan kemampuan kita untuk berpikir objektif dan bergerak adaptif. Kekuatan emosional dan tradisi sangat berarti, tetapi harus tetap berada di bawah kendali rasionalitas serta orientasi nilai.
Menggunakan teori Max Weber sebagai kacamata gerakan bukanlah sekadar pilihan akademik, melainkan cara untuk membaca ulang bagaimana kita bertindak sebagai kader. Teori Weber memungkinkan kita memahami bahwa sebuah gerakan menjadi kuat bukan karena banyaknya aktivitas, tetapi karena makna yang menyertai tindakan itu. Dengan menyeimbangkan tujuan yang jelas, nilai moral yang kuat, energi emosional yang positif, dan tradisi yang bijaksana, PMII dapat terus melahirkan kader yang matang secara intelektual, dewasa secara moral, dan siap menghadapi perubahan zaman.
Pada akhirnya, teori Weber memberi kita satu pesan sederhana adalah sebuah tindakan hanya akan menjadi tindakan pergerakan ketika ia memiliki makna. Dan tugas kita sebagai kader PMII adalah memastikan bahwa setiap langkah yang kita ambil bukan hanya rutinitas organisasi, tetapi bagian dari perjuangan yang lebih besar untuk kemanusiaan, keadilan, dan nilai-nilai yang kita yakini bersama.
Penulis: Sahrul Anam (Kader PMII STAIDA)