KEUTUHAN MAHASISWA, KETIKA SUDAH DISAPA DENGAN PANGGILAN SAHABAT


Nama memiliki kedudukan penting sebagai simbol identitas manusia yang membedakan satu individu dengan lainnya. Menurut Ernst Cassirer, manusia adalah animal symbolicum makhluk yang hidup dan berpikir melalui simbol. 

Dalam pandangan Islam, hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an ketika Allah swt mengajarkan Nabi Adam as tentang nama-nama segala sesuatu (QS. al-Baqarah: 31), sebagai bentuk awal pengetahuan dan penegasan identitas manusia. Dengan demikian, pemberian nama tidak hanya bersifat linguistik, tetapi juga mengandung makna spiritual dan filosofis yang mendalam.

Nabi Muhammad saw sangat menekankan pentingnya nama yang baik karena mencerminkan doa dan harapan bagi pemiliknya. Dalam beberapa riwayat, beliau bahkan menganjurkan penggantian nama yang memiliki makna kurang baik. 

Di sisi lain, Nabi saw memperbolehkan penggunaan nama panggilan atau julukan khusus selama tidak meniru nama orang lain dan tetap bermakna positif. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, panggilan atau sapaan memiliki nilai etis dan simbolis yang mencerminkan kehormatan, kedekatan, serta kebaikan makna.

Dalam konteks sosial dan ideologis, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menggunakan sapaan “Sahabat” bagi setiap kadernya bukan tanpa alasan. Panggilan ini memiliki dasar filosofis, historis, dan normatif yang kuat, terinspirasi dari kebiasaan Rasulullah saw yang menyebut para pengikut setianya sebagai sahabat. 

Nabi saw menggambarkan mereka sebagai gugusan bintang yang menjadi petunjuk bagi umat setelahnya. Semangat inilah yang diadopsi PMII menjadikan setiap kader sebagai insan yang bermanfaat bagi sesama sesuai hadis Rasulullah saw, “Khairun naas anfa‘uhum lin-naas” (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya).

Secara historis dan ilmiah, istilah “Sahabat” juga dikenal luas dalam tradisi keilmuan Islam klasik. Banyak ulama, seperti para fuqaha dan mutakallimin, yang menggunakan istilah ashabuna (sahabat-sahabat kami) untuk menyebut mereka yang sejalan dalam pandangan dan perjuangan. 

Al-Qur’an pun sering menggunakan istilah ashab untuk menggambarkan kelompok yangberjuangkug di jalan Allah, seperti ashabul kahfi atau ashabul ukhdud. Berdasarkan konteks ini, sapaan “Sahabat” dalam PMII memiliki makna tabarrukan (mengharap berkah) dengan meneladani semangat para salafus shalih yang tulus berjuang demi kebenaran.

Etimologisnya, kata shahabi berasal dari shahabah yang berarti persahabatan atau kebersamaan. Abu Bakar al-Baqilani menjelaskan bahwa sahabat adalah siapa pun yang pernah berinteraksi dengan Nabi Muhammad saw meskipun hanya sebentar. Sedangkan menurut Ibnu Katsir, sahabat adalah seorang muslim yang pernah bertemu Nabi saw walau sebentar dan tidak meriwayatkan hadis sekalipun. 

Pandangan di atas disepakati oleh mayoritas ulama salaf dan khalaf. Makna linguistik dan terminologis ini menjadi dasar filosofis bagi PMII untuk menegaskan bahwa hubungan “Sahabat” tidak ditentukan oleh waktu, tetapi oleh kesamaan nilai dan perjuangan.

Sejak berdirinya pada 17 April 1960 di Surabaya, PMII menegaskan nilai-nilai persaudaraan, kesetaraan, dan kebersamaan sebagai inti dari gerakannya. Penggunaan sapaan “Sahabat” bukan hanya panggilan organisatoris, tetapi juga manifestasi dari ikatan spiritual dan sosial yang berlandaskan cinta, penghormatan, serta solidaritas antaranggota. 

Hal tersebut sejalan dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama‘ah yang dipegang teguh PMII, sebagaimana kaidah “al-muhafazhatu ‘ala al-qadimi as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah" mempertahankan nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih maslahat.

Landasan moral penggunaan istilah “Sahabat” juga berakar pada hadis Rasulullah saw:

"لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه"
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa kesempurnaan iman seseorang tidak hanya diukur dari ibadah pribadi, tetapi juga dari sejauh mana ia menumbuhkan cinta, empati, dan kepedulian terhadap sesamanya. 

Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa kata “akhīhi” dalam hadis ini mencakup seluruh manusia, sedangkan Ibn Hajar al-‘Asqalānī dalam Fath al-Bārī menegaskan bahwa iman seseorang sempurna ketika ia menanggalkan egoisme dan menempatkan kebahagiaan orang lain sejajar dengan kebahagiaannya sendiri.

Dengan demikian, sapaan “Sahabat” dalam PMII merepresentasikan nilai-nilai ukhuwah Islamiyah yang meneladani hubungan Rasulullah saw dengan para sahabatnya. Panggilan ini menjadi simbol keutuhan identitas kader, menumbuhkan rasa saling menghormati, memperkuat solidaritas, serta meneguhkan semangat perjuangan dan kemanusiaan. 

Sebagaimana ditegaskan oleh KH. Hasyim Muzadi, “PMII bukan sekadar tempat berhimpun, tapi ruang untuk menumbuhkan rasa memiliki dan memperjuangkan nilai-nilai bersama di antara sesama sahabat.” 

Pernyataan ini menegaskan bahwa persahabatan dalam PMII bukan hubungan formal, melainkan proses pembentukan jiwa dan karakter. Di dalamnya ada semangat saling menasihati dalam kebaikan, menolong tanpa pamrih, dan berjuang bersama demi kemaslahatan umat

Persahabatan dalam PMII juga menjadi wadah pembelajaran spiritual dan intelektual. Ia melatih kader untuk menundukkan ego pribadi dan menumbuhkan kesadaran kolektif. Persahabatan menjadi sarana kader berlatih mengasah iman, menajamkan ilmu, dan mengamalkan nilai pengabdian sosial.

Penulis: Musleh Maulana (Kader PMII STAIDA) 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KEUTUHAN MAHASISWA, KETIKA SUDAH DISAPA DENGAN PANGGILAN SAHABAT" 1 Response to "KEUTUHAN MAHASISWA, KETIKA SUDAH DISAPA DENGAN PANGGILAN SAHABAT"

Posting Komentar

Tag Terpopuler