Ad
Scroll untuk melanjutkan membaca
Ad

RUU KUHAP CERMINAN REFORMASI YANG GAGAL


Keputusan DPR mengesahkan RUU KUHAP secara tiba-tiba, meski penolakan publik sangat besar, menunjukkan betapa negara semakin jauh dari kepentingan rakyat. Revisi KUHAP yang seharusnya menjadi kesempatan memperbaiki sistem peradilan justru berubah menjadi aturan yang memperluas kekuasaan aparat dan memperkecil perlindungan bagi masyarakat. Dalam kondisi penegakan hukum yang selama ini saja sudah penuh kekerasan, kriminalisasi, dan proses hukum yang buram, kehadiran RUU KUHAP justru membuat masyarakat semakin tidak aman. Alih-alih menjadi pembaruan, RUU ini malah terasa seperti ancaman.

Temuan Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) dalam demonstrasi akhir Agustus lalu menunjukkan gambaran nyata bagaimana perilaku aparat di lapangan, kekerasan terhadap demonstran, penyitaan barang pribadi tanpa izin pengadilan, penangkapan tanpa alasan jelas, penahanan yang melebihi batas, dan proses hukum yang tidak transparan. Semua ini terjadi ketika RUU KUHAP bahkan belum disahkan. Jika tanpa aturan baru saja pelanggaran sudah sebebas itu, bagaimana ketika aturan baru memberi mereka ruang dan kewenangan lebih besar? RUU ini tidak hadir untuk memperbaiki situasi, tetapi justru berpotensi memperkuat pola penyalahgunaan yang selama ini sudah terjadi berulang.

Padahal, revisi KUHAP diharapkan mampu menjawab berbagai keluhan masyarakat, laporan kejahatan yang tidak ditangani serius, korban kekerasan seksual yang tidak mendapat perhatian, penyelidikan yang lambat, hingga salah tangkap yang terus terjadi. Namun isi RUU KUHAP malah menambah beban masyarakat. Ketua Umum PBHI, Julius Ibrani, mengatakan bahwa aturan baru ini bisa “merebut paksa kemerdekaan diri” warga. Artinya, ada pasal-pasal yang memberi aparat kesempatan lebih besar untuk menangkap, menahan, atau memeriksa seseorang tanpa pengawasan ketat. Situasi ini berbahaya karena membuka peluang kesewenang-wenangan, bukan menciptakan keadilan.

Lebih ironis lagi, DPR Komisi lll mengklaim bahwa 99% isi RUU KUHAP berasal dari masukan masyarakat sipil. Klaim ini tidak masuk akal ketika hampir semua organisasi masyarakat sipil justru menolak dan mengkritik isi RUU ini. Jika masukan publik benar didengar, seharusnya pasal-pasal bermasalah itu tidak muncul. Proses legislasi yang tidak transparan, pembahasan yang terburu-buru, dan pengabaian terhadap kritik membuat masyarakat wajar merasa bahwa aturan ini sengaja disusun untuk kepentingan kelompok tertentu, bukan untuk kepentingan rakyat luas.

Dengan disahkannya RUU KUHAP, jurang antara negara dan masyarakat semakin lebar. Aparat diberi kekuatan lebih, sementara pengawasan dan perlindungan terhadap warga justru makin lemah. Ini membuka peluang lahirnya lebih banyak kasus salah tangkap, pelecehan wewenang, hingga kriminalisasi terhadap mereka yang kritis terhadap pemerintah. Dalam negara demokratis, hukum seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan alat memperkuat kekuasaan.

Kritik terhadap RUU KUHAP bukan sekadar protes, tetapi peringatan bahwa masa depan kebebasan sipil sedang terancam. Jika aturan ini dibiarkan berjalan tanpa koreksi, masyarakatlah yang akan menanggung resikonya, kehilangan rasa aman, kehilangan kepercayaan pada hukum, dan kehilangan ruang untuk bersuara. RUU KUHAP bukan langkah maju dalam reformasi hukum, melainkan langkah mundur yang sangat tajam. Dan ketika hukum mulai memihak kekuasaan, maka suara publik menjadi satu-satunya benteng terakhir untuk mempertahankan demokrasi.

Penulis: Ianatussoleh (Ketua KOPRI STAIDA) 
Baca Juga
Tag:
Postingan Terbaru
  • RUU KUHAP CERMINAN REFORMASI YANG GAGAL
  • RUU KUHAP CERMINAN REFORMASI YANG GAGAL
  • RUU KUHAP CERMINAN REFORMASI YANG GAGAL
  • RUU KUHAP CERMINAN REFORMASI YANG GAGAL
  • RUU KUHAP CERMINAN REFORMASI YANG GAGAL
  • RUU KUHAP CERMINAN REFORMASI YANG GAGAL
Ad
Ad
Tutup Iklan
Ad