Sejarah panjang bangsa Indonesia merupakan kisah sosial, budaya, dan spiritual yang membentang dari era Nirleka, Feodal, Kolonial hingga Merdeka. Setiap fase menunjukkan dinamika peradaban manusia Nusantara yang bergerak dari kehidupan komunal menuju tatanan bernegara, dari kearifan lokal menuju pergulatan modernitas.
Tinjauan dalam perspektif antropologi dan sosiologi Indonesia, sejarah ini bukan sekadar perubahan struktur sosial, melainkan transformasi kesadaran manusia terhadap diri dan lingkungannya sebuah dialektika antara akal, rasa, dan spiritual yang melahirkan kebudayaan bangsa.
Pada era Nirleka, masyarakat Nusantara hidup dalam sistem komunal yang egaliter tanpa hierarki kekuasaan. Dalam antropologi Indonesia, fase ini disebut masyarakat adat, di mana hubungan manusia dan alam berjalan harmonis melalui nilai gotong royong, musyawarah, dan spiritualitas alamiah.
Memasuki era Feodal, muncul kerajaan-kerajaan yang menandai lahirnya stratifikasi sosial, Kekuasaan raja dan bangsawan melahirkan sistem patron-klien, sosiologi Indonesia memandang masa ini sebagai awal terbentuknya struktur kuasa yang menempatkan rakyat dalam posisi subordinat terhadap elite penguasa.
Perubahan besar datang pada era Kolonial, ketika kekuasaan asing mengambil alih tatanan lokal. Kolonialisme Belanda bukan hanya menindas ekonomi, tetapi juga memperdalam feodalisme. Sistem tanam paksa dan eksploitasi sumber daya menciptakan ketimpangan struktural.
Dari sisi antropologi, terjadi benturan budaya antara spiritualitas kolektif pribumi dan rasionalitas materialistik Barat. Namun, nilai rasa dan spiritualitas lokal tetap bertahan sebagai bentuk perlawanan kultural melalui agama dan tradisi.
Memasuki era Merdeka, bangsa Indonesia berusaha melepaskan diri dari warisan kolonial dan feodal. Proklamasi 1945 menjadi tonggak kebangkitan kesadaran nasional. Namun, sebagaimana dikatakan Bonnie Triyana, Indonesia pascakemerdekaan masih dibayangi struktur kekuasaan lama.
Dengan pendekatan sosiologis, kemerdekaan politik belum sepenuhnya diikuti oleh keadilan sosial, sedangkan antropologi menunjukkan bahwa spiritualitas dan budaya lokal tetap menjadi penopang kehidupan bangsa di tengah modernisasi.
Dari perjalanan ini, tampak bahwa masyarakat Indonesia berkembang tidak hanya secara material, tetapi juga spiritual dan epistemologis. Pemikir Nusantara menegaskan bahwa manusia terdiri dari tiga aspek, ialah akal, rasa, dan spiritual. Yang mana akal menuntun logika dan ilmu, rasa menumbuhkan empati dan kemanusiaan, spiritual menjaga hubungan manusia dengan Tuhan dan alam.
Dalam filsafat ilmu, sumber pengetahuan berpijak pada dua dimensi, pengetahuan intuitif yang lahir dari pengalaman batin dan tradisi, serta pengetahuan analitis yang berakar pada rasionalitas ilmiah.
Hemat penulis sebagai kader PMII, kesadaran sejarah ini sebagai dasar gerakan intelektual dan sosial. Antropologi membantu memahami akar budaya dan spiritualitas manusia Indonesia, sedangkan sosiologi memberi alat analisis terhadap struktur sosial dan ketimpangan.
Memadukan akal, rasa, dan spiritual, kader harus mampu menggabungkan pengetahuan intuitif dan analitis untuk menafsirkan arah gerakan.
Memahami sejarah bangsa dari era Nirleka hingga Merdeka berarti memahami jati diri kita sendiri. Ia mengajarkan bahwa perjuangan kemanusiaan berlangsung di tiga ranah akal yang mencerahkan, rasa yang mempersatukan, dan spiritual yang menuntun.
Penulis : Solehul Akmal (Kader PMII STAIDA)