Ad
Scroll untuk melanjutkan membaca
Ad

"Jhe’ Ghi Ngaleng Lek, Kakeh Benni Lora”: Kritik Sosial atas Luka Pesantren

sahabatliterasi-Istilah “Jhe’ ghi ngaleng Lek, Kakeh Benni Lora” belakangan ini menjadi gema dikalangan pemuda di Bangkalan Madura. Ungkapan yang berarti “jangan mengelak, kamu bukan Lora (putra Kiai)” ini muncul sebagai bentuk protes dan kekecewaan publik setelah mencuatnya dugaan kasus pencabulan terhadap santri putri oleh oknum Lora di salah satu pesantren Galis. Sebuah berita yang mencederai hati masyarakat, terlebih bagi Bangkalan yang sejak lama meletakkan pesantren sebagai pusat moral dan Kota Dzikir dan Sholawat. 

Tradisi Madura, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan benteng nilai yang dihormati. KH. Abdurrahman Wahid pernah menegaskan bahwa “Pesantren adalah benteng peradaban bangsa, tempat lahirnya manusia yang mengerti makna kemanusiaan.” Begitu pula KH. Sahal Mahfudh yang menulis, “Tanpa akhlak, pesantren kehilangan ruhnya.” Kepercayaan masyarakat kepada pesantren bukan hanya kepercayaan pendidikan, tetapi kepercayaan moral. Pesantren adalah ruang kesucian tempat orang tua menitipkan anak-anaknya, berharap mereka tumbuh dengan ilmu dan cahaya akhlak. Karena itu, ketika tragedi pelecehan terjadi di lingkungan yang seharusnya menjadi wilayah paling aman dan bersih, luka sosial yang muncul pun jauh lebih dalam.

Status Lora di Madura menambah lapisan persoalan yang rumit. Menjadi Lora bukan hanya status keluarga, tetapi simbol kehormatan sosial dan spiritual. Dalam analisis Pierre Bourdieu, status ini merupakan bentuk modal simbolik, yakni kekuasaan yang lahir dari kehormatan dan pengakuan masyarakat. Masalah muncul ketika modal ini diterima begitu saja sebagai kewajaran, lalu berkembang menjadi kultur tabu untuk dikritik. Inilah yang membuat kasus-kasus penyimpangan oleh oknum lebih mudah terselubung. Bourdieu menyebutnya sebagai kekerasan simbolik dominasi yang tidak disadari karena tertutup oleh martabat simbolik yang dibentuk budaya.

Sementara itu, Antonio Gramsci menyebut kondisi ini sebagai hegemoni moral, yaitu ketika suatu kelompok mendapatkan keistimewaan bukan melalui kekerasan, tetapi melalui penerimaan masyarakat bahwa mereka “memang layak dihormati”. Dalam konteks pesantren, penghormatan terhadap kiai diwariskan, dan otomatis turun pula kepada anak-anaknya. Ketika integritas tidak mengiringi posisi tersebut, muncullah ruang gelap yang memungkinkan penyalahgunaan.

Fenomena ini pernah menggema sebelumnya melalui polemik film berjudul "Guru Tugas", produksi sekelompok kreator YouTube. Film itu diprotes karena dianggap mencederai nama baik pesantren, seakan-akan menjadikannya ruang gelap, otoriter, dan dekat dengan perilaku menyimpang. Saat itu, masyarakat dan tokoh pesantren menyerukan bahwa penggambaran tersebut tidak adil dan tidak mencerminkan realitas luhur pesantren. Namun ironi kembali memukul keras, film itu dianggap mencemarkan citra pesantren, tetapi yang kini justru mencemarkan pesantren adalah perilaku individu yang bersembunyi di balik kesakralan status.

Foucault memberi gambaran bahwa kekuasaan dapat mengontrol tubuh, dan tubuh sering menjadi arena dominasi. Dalam beberapa kasus pesantren yang mencuat ke publik, termasuk tragedi Galis, tubuh santri menjadi objek kekuasaan, padahal pesantren semestinya menjadi ruang pembebasan spiritual dan moral. Ketika ruang pembebasan berubah menjadi ruang ketakutan, saat itulah pesantren kehilangan makna yang diwariskan para ulama.

Publik Bangkalan merespons dengan ungkapan satir “Kakeh Benni Lora”. Ia bukan sekadar kalimat viral, tetapi bentuk perlawanan simbolik bahwa ruang sakral tidak boleh lagi menjadi tameng perilaku amoral. Masyarakat khususnya aktor Akeloy dalam film-filmnya ingin menyadarkan bahwa martabat seseorang tidak diukur dari nasab atau status keluarga, tetapi dari akhlaknya. Seorang putra kiai layak dihormati jika akhlaknya mencerminkan nilai luhur ayahnya. Jika tidak, ia sama seperti manusia lainnya yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

Dalam guncangan ini, penting ditegaskan bahwa kritik terhadap oknum bukanlah upaya meruntuhkan pesantren. Justru sebaliknya, ini adalah bentuk kecintaan terhadap pesantren agar ia tetap berada pada jalur kesucian aslinya, Pesantren harus dilindungi dari perilaku-perilaku yang merusak akarnya. Pesantren bukan lumbung nafsu brutal, bukan tempat melampiaskan syahwat, bukan ruang kekuasaan yang tak tersentuh, tetapi lembaga ilmu yang dibangun dengan air mata perjuangan para Kiai sejak generasi awal Islam Nusantara.

Nurcholish Madjid mengingatkan bahwa “Pesantren tumbuh dari kepercayaan masyarakat, integritas adalah tiangnya.” Bila tiang ini retak karena oknum yang bertindak sewenang-wenang, maka yang hancur bukan hanya citra pesantren, tetapi juga kepercayaan publik yang selama ini menjadi fondasinya. Karena itu, penegakan akhlak, disiplin, dan keadilan harus menjadi komitmen utama demi menjaga marwah pesantren.

Kini masyarakat Bangkalan sedang memberikan pesan yang jelas, kesakralan tanpa akhlak hanyalah topeng. Tidak ada lagi ruang aman bagi manipulasi simbolik, Pesantren harus kembali pada prinsipnya sebagai ruang suci ilmu dan moral, bukan ruang gelap yang memelihara budaya diam. Sebagaimana nasihat Gus Mus “Siapa pun yang belajar agama tapi tidak berakhlak, maka ia belajar untuk merusak agama.”

Pada akhirnya, pesantren akan tetap menjadi cahaya jika integritas dan keberanian menegakkan akhlak dijaga tanpa tebang pilih. Karena ilmu tanpa akhlak hanyalah api tanpa cahaya panas, tetapi tidak menerangi apa pun.

Penulis: Solehul Akmal (Kader PMII STAIDA) 
Baca Juga
Tag:
Postingan Terbaru
  • "Jhe’ Ghi Ngaleng Lek, Kakeh Benni Lora”: Kritik Sosial atas Luka Pesantren
  • "Jhe’ Ghi Ngaleng Lek, Kakeh Benni Lora”: Kritik Sosial atas Luka Pesantren
  • "Jhe’ Ghi Ngaleng Lek, Kakeh Benni Lora”: Kritik Sosial atas Luka Pesantren
  • "Jhe’ Ghi Ngaleng Lek, Kakeh Benni Lora”: Kritik Sosial atas Luka Pesantren
  • "Jhe’ Ghi Ngaleng Lek, Kakeh Benni Lora”: Kritik Sosial atas Luka Pesantren
  • "Jhe’ Ghi Ngaleng Lek, Kakeh Benni Lora”: Kritik Sosial atas Luka Pesantren
Ad
Ad
Tutup Iklan
Ad