Ad
Scroll untuk melanjutkan membaca
Ad

Philosopher king dan kader penggerak (Menyelami sejarah pemikiran plato untuk kaderisasi PMII Bangkalan)

Menyelami pemikiran Plato berarti menelusuri akar terdalam tradisi intelektual dunia, sebuah perjalanan filosofis yang menunjukkan bahwa peradaban hanya dapat dibangun melalui pembentukan manusia yang terdidik secara utuh. Di Athena kuno, Plato menyaksikan kehancuran moral dan politik yang dipicu perang dan intrik kekuasaan. Guru yang ia cintai, Sokrates, dihukum mati oleh demokrasi yang korup. Langkah pertama Plato sebagai filsuf justru lahir dari luka sejarah itu, sebuah keyakinan bahwa masyarakat membutuhkan manusia-manusia yang dibimbing akalnya, dibasuh moralnya, dan dilatih jiwanya untuk melihat kebenaran. 

Karyanya Republic, Plato menggambarkan bagaimana manusia harus melalui proses pendidikan panjang untuk naik dari sekadar opini menuju pengetahuan, hingga akhirnya memahami ide tertinggi Kebaikan. Bagi Plato, sebuah masyarakat baru hanya mungkin tumbuh ketika manusianya ditempa melalui proses yang sistematis, dialogis, dan penuh kedisiplinan sebuah gagasan yang pula menjelma dalam pendirian Akademia, lembaga pendidikan yang bertahan lebih dari delapan abad. Di ruang inilah dialog, kritik, dan dialektika menjadi jalan untuk mengasah nalar dan watak manusia.

Jika gagasan ini ditarik ke dalam pengalaman organisasi mahasiswa seperti PMII di Bangkalan, tampak satu benang merah kuat ialah kaderisasi bukan sekadar kegiatan formal, melainkan proyek pembentukan kader ideal. Sebagaimana Akademia Plato menjadi ruang lahirnya para pemikir polis, kaderisasi PMII harus menjadi arena yang menata cara berpikir, membentuk karakter sosial, dan memperteguh orientasi moral kader secara bertahap. Di balik dinamika komisariat, diskusi formal, dan kegiatan kaderisasi, terdapat misi besar yang sama dengan apa yang Plato bayangkan ribuan tahun lalu, membebaskan manusia dari “gua ketidaktahuan”. 

Alegori Gua Plato menjelaskan bagaimana manusia sering keliru memahami realitas mengambil bayang-bayang sebagai kebenaran. Dalam konteks PMII di Bangkalan, bayang-bayang itu dapat berupa rutinitas tanpa wawasan, fanatisme pada senioritas, perebutan posisi, atau aktivisme instan tanpa pendalaman intelektual. Banyak kader terjebak pada aktivitas permukaan, tetapi tidak sungguh-sungguh mendalami pengetahuan, analisis sosial, dan etika intelektual. Padahal hakikat kaderisasi adalah mengantar manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya pengetahuan dan nilai.

Plato menegaskan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mampu melihat Kebaikan dan menjadikannya orientasi semua tindakan. Nilai tertinggi ini sangat berkorespondensi dengan prinsip Aswaja yang menjadi dasar PMII keseimbangan, moderasi, toleransi, dan keadilan. Seorang kader PMII yang terlatih secara filosofis memahami bahwa aktivisme tanpa orientasi moral akan melahirkan kecerdasan yang berbahaya. Karena itu kaderisasi tidak sekadar memproduksi kader yang aktif, tetapi membentuk manusia yang memiliki kesadaran etis bahwa setiap tindakan harus bermuara pada kemaslahatan sosial. Inilah titik temu antara “philosopher-king” Plato dan “kader penggerak” PMII yang keduanya membutuhkan pembinaan moral, latihan berpikir, dan kemampuan membaca realitas secara kritis.

Dalam konteks Bangkalan, di mana realitas sosial sering diwarnai ketimpangan, masalah sosial, hingga dinamika kekuasaan lokal, PMII memikul peran historis untuk melahirkan kader yang mampu memahami persoalan masyarakat dari akar filosofisnya. Mereka tidak hanya menjadi organisatoris, tetapi pembaca realitas, tidak hanya menjadi penggerak massa, tetapi penjaga nilai, tidak hanya menjadi pelaku kegiatan, tetapi pembangun kesadaran. Sebagaimana murid-murid Plato dilatih untuk memimpin polis dengan akal budi, kader PMII ditempa agar mampu memimpin masyarakat dengan keberpihakan dan keadilan.

Dengan demikian, menyelami sejarah pemikiran Plato memberi PMII Bangkalan kaca benggala yang jernih, bahwa proses kaderisasi adalah perjalanan panjang mengubah manusia dari kegelapan menuju cahaya, dari opini menuju ilmu, dari ego sempit menuju orientasi kebaikan. Kaderisasi yang hanya berhenti pada rutinitas tidak akan melahirkan manusia unggul ia harus menjadi proses filosofis yang menghadirkan keberanian berpikir, ketajaman membaca persoalan, dan komitmen moral untuk membela kemanusiaan. Di titik inilah pemikiran Plato bukan sekadar kisah masa lampau, tetapi menjadi cermin yang terus memantulkan arah perubahan bagi kaderisasi PMII Bangkalan hari ini dan di masa depan.

Penulis: kader Komunitas Sahabat Literasi
Baca Juga
Postingan Terbaru
  • Philosopher king dan kader penggerak (Menyelami sejarah pemikiran plato untuk kaderisasi PMII Bangkalan)
  • Philosopher king dan kader penggerak (Menyelami sejarah pemikiran plato untuk kaderisasi PMII Bangkalan)
  • Philosopher king dan kader penggerak (Menyelami sejarah pemikiran plato untuk kaderisasi PMII Bangkalan)
  • Philosopher king dan kader penggerak (Menyelami sejarah pemikiran plato untuk kaderisasi PMII Bangkalan)
  • Philosopher king dan kader penggerak (Menyelami sejarah pemikiran plato untuk kaderisasi PMII Bangkalan)
  • Philosopher king dan kader penggerak (Menyelami sejarah pemikiran plato untuk kaderisasi PMII Bangkalan)
Ad
Ad
Tutup Iklan
Ad